Tragedi jatuhnya pesawat
Sukhoi Superjet 100 pada hari Rabu, 9 Mei menghenyakkan banyak orang. Pesawat
yang terbilang “fresh from oven” ini
menabrak lereng gunung Salak, meledak, dan hancur berkeping-keping. Berbagai
spekulasi tentang jatuhnya pesawat pun muncul di muka publik. Ada yang
menganggapnya sebagai upaya sabotase, human
error, hingga masalah alam yang tak bersahabat.
LAPAN (Lembaga Antariksan dan Penerbangan Nasional) sendiri sempat melansir tentang kondisi awan saat hari H jatuhnya pesawat. Dimana menurut data satelit terlihat adanya awan cumulonimbus (CB) yang cukup tebal saat itu. Awan ini merupakan awan penghasil hujan yang cukup membahayakan penerbangan, karena bisa diikuti dengan munculnya kolom arus udara turun yang disebut sebagai downburst. Kondisi ini dapat menghempaskan pesawat ke bawah dengan kecepatan cukup tinggi.
LAPAN (Lembaga Antariksan dan Penerbangan Nasional) sendiri sempat melansir tentang kondisi awan saat hari H jatuhnya pesawat. Dimana menurut data satelit terlihat adanya awan cumulonimbus (CB) yang cukup tebal saat itu. Awan ini merupakan awan penghasil hujan yang cukup membahayakan penerbangan, karena bisa diikuti dengan munculnya kolom arus udara turun yang disebut sebagai downburst. Kondisi ini dapat menghempaskan pesawat ke bawah dengan kecepatan cukup tinggi.
Pesawat pertama ciptaan Wright bersaudara (sumber gambar : wright-house.com) |
Terlepas versi manakah yang benar
dan belum tuntasnya proses evakuasi dan penyidikan, hal yang menarik untuk
dikaji adalah terkait kestabilan pesawat saat terbang. Inilah yang dipikirkan
Wilbur bersaudara saat menciptakan pesawatnya. Duo adik kakak ini berhasil
melakukan penerbangan pertama dengan pesawat ciptaan mereka dalam waktu 12
detik dan 59 detik pada tanggal 17 Desember 1903 di Kill Devil Hill, dekat Kitty
Hawk, North Carolina Amerika Serikat. Meski bukan orang pertama yang
menciptakan “alat terbang”, Wright bersaudara menorehkan catatan sebagai pionir
perkembangan pesawat terbang.
Wibur dan Orville Wright (sumber gambar : kidcyber.com.au) |
Wright Bersaudara dan Prinsip Bernoulli
Perkembangan dunia penerbangan
memang tidak lepas dari nama Wright bersaudara. Mereka terobsesi membuat
pesawat terbang dan mulai melakukan pengamatan pada cara kerja layang-layang,
peluncur hingga burung. Hingga kemudian di awal 1900-an mereka berhasil
menciptakan pesawat terbang. Pesawat pertama mereka dinamai Flyer I dan kini disimpan di Museum Udara dan Ruang Angkasa di Washington DC. Dalam menciptakan pesawat, Orville
Wright dan Wilbur Wright sudah memikirkan bagaimana pengaruh tekanan udara
dengan bentuk sayap pesawat. Mereka menerapkan prinsip Bernoulli yang
menyatakan hubungan antara kecepatan dan tekanan fluida (udara).
Aplikasi prinsip Bernoulli pada sayap pesawat terbang (ilmuterbang.com) |
Daniel Bernoulli adalah ilmuwan
Swiss kelahiran Belanda yang mengkaji permasalahan pada fluida. Prinsip yang
dikemukakannya yang kemudian disebut prinsip/hukum Bernoulli menyatakan
hubungan antara kelajuan alir fluida dan tekanan yang ditimbulkannya, dimana
jika di sebuah tempat kelajuan alirnya besar, maka tekanannya kecil. Begitu
pula sebaliknya. Berdasarkan konsep inilah, Wright bersaudara kemudian
merancang bentuk sayap pesawat yang bisa membuat kecepatan alir udara di bagian
bawah dan atas sayap berbeda.
Mengadaptasi bentuk sayap burung,
Wright bersaudara kemudian merancang sayap pesawat dengan bentuk aerofoil. Dimana sayap dibuat melengkung
dan lebih tebal di bagian depan daripada di bagian belakang. Bentuk seperti ini
membuat kelajuan alir udara diatas sayap lebih besar daripada di bawah sayap.
Akibatnya, tekanan ke atas lebih besar dibanding tekanan ke bawah dan pesawat
pun bisa mengangkasa. Selisih tekanan ini yang kemudian disebut sebagai gaya angkat pesawat.
Aliran udara di sekitar sayap
dihasilkan dari gaya dorong mesin. Mesin yang digunakan Wright untuk pendorong
pesawatnya adalah mesin baling-baling. Saat itu mesin baling-baling merupakan
mesin yang paling mungkin dipakai karena bobotnya lebih ringan dibanding mesin lain
yang ada saat itu. Di era modern peran mesin baling-baling diganti dengan mesin
jet yang lebih canggih.
Meskipun tampak “sempurna” hasil
pemikiran Wright saat merancang pesawat karena dianalisis secara matematis dan
fisis, tetap saja ada hal-hal diluar kekuasaan manusia. Bahkan pesawat yang
dikemudikan Orville Wright pernah kehilangan keseimbangan dan pesawat tersebut
jatuh. Peristiwa yang terjadi pada 17 September 1908 ini mengakibatkan seorang
penumpang tewas dan Orville sendiri mengalami patah kaki dan tulang iga.
Beberapa faktor memang dapat
memicu berkurangnya gaya angkat pesawat. Mesin pesawat yang mati saat pesawat
masih mengudara tentunya mengakibatkan laju alir udara mengalami perlambatan.
Jika selisih laju alir dan tekanan pada sayap semakin kecil, gaya angkat
pesawat akan dikalahkan oleh gaya tarik bumi dan buuummmm.....pesawat pun
terhempas. Faktor cuaca yang memunculkan aliran angin seperti downburst turut menjadi salah satu
penyebab pesawat kehilangan gaya angkatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar